“The world is huge, don’t you think?”

⭐
3 min readJan 20, 2024

--

Well, I did not think of much at that time. Yang ada di pikiran gue cuma Hima. Hima. Hima. Hima. Bumi dan semesta memang besar, tapi dunia gue cuma Hima.

Hal yang gue tunggu tiap hari adalah pulang sekolah, supaya gue bisa ketemu Hima di perpus kota, baca-baca buku sambil nunggu jemputan Maminya sampe maghrib. Kalau akhir pekan, habis kami selesai les Bahasa Inggris, biasanya bakal nunggu di perpus lagi. Tapi waktu itu perpus tutup karena direnovasi. Gue sama Hima nggak tahu mau kemana.

Ujungnya kami malah ke dekat halte Taman Kota, makan soto betawi sambil cerita-cerita. Ketika jingga langit sore muncul dan bikin wajah Hima bersinar juga, gue diingatkan kembali, kalau alasan gue suka banget sama dia adalah karena ini.

Bumi dan semesta memang besar, tapi ruang pikir Hima lebih besar lagi. Hima anaknya penasaran. Hima anaknya kritis. Hima anaknya selalu terbuka sama pendapat baru dari orang lain. Hima selalu cerita tentang banyak hal ke gue, lalu rasanya gue bisa lihat dunia dari kedua matanya—itu, yang gue suka.

"Dunia tuh besaaaaaar banget, Jo. Aku pengen bisa liat banyak hal yang nggak biasa. Rumah di luar negeri bentuknya beda. Jalan raya juga beda—kalo kita naik kendaraan di kiri, banyak negara lain yang kendaraannya jalan di kanan! Belum lagi soal makanan..."

Mungkin orang lain bakal bilang kalau Hima meracau. Gue enggak. Gue selalu dengar semua perkataannya dan mengaminkan keinginannya, bahwa suatu hari dia bakal lebih sering hidup sekian ribu kaki di atas permukaan tanah; terbang dari negeri satu ke yang lain, belajar hal baru, lalu pulang. Pulang ke gue. Pulang buat ceritain semua hal yang dia lihat.

Karena setiap dia cerita, gue merasa ada di dunianya. Gue merasa nggak kalah penting dari agenda keliling-kelilingnya. Seakan gue nggak akan pernah berhenti jadi kewajibannya, yang sedikit konyol dan kekanak-kanakan, bahkan sampe nanti Hima udah sukses dan dewasa. Gue mau Hima cerita tentang dunianya, selamanya.

Maka di samping hiruk-pikuk kemacetan kota saat itu gue memupuk harap semoga kami bisa usahakan itu. Semoga Hima bisa usahakan itu. Sehingga bayangan-bayangan soal masa depan kami lewat sekelebat, tapi berat. Berat, semua sekaligus dalam satu waktu, hingga gue nggak sadar kalau gue begitu lengah dan hidup gue diambil alih rasa yakin yang nggak seharusnya.

"Kalo udah keliling dunia nanti, kamu cerita terus sama aku, ya?"

"Iya, lah, pasti!"

Mungkin karena Hima juga yang waktu itu sama yakinnya—atau seenggaknya, itu yang gue harapkan. Nyatanya, gue kecewa karena konsep selamanya yang gue pahami waktu itu sama sekali beda sama apa yang ada. Selama yang kami bisa, bukan selama yang gue mau. Sampai waktu yang diizinkan, bukan sampai habisnya waktu.

Sayangnya, bumi dan semesta itu besar, begitupun dunia Hima. Angan bocah sekolah menengah itu pun kalah, waktu Hima mendadak nggak ada di perpus lagi, dan waktu pulang sekolah nggak lagi gue nanti.

Bumi dan semesta akan selalu besar, tapi gue harap suatu saat akan mengecil dan bikin kami ketemu, barang satu kali lagi.

--

--

⭐
⭐

Written by

here to kill some time.

No responses yet